Madiun, halalcarejatim - Mulai 17 Oktober 2024, sertifikat halal bukan lagi pilihan, tetapi kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Bagi produsen makanan, minuman, bahan tambahan pangan, hingga produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan, sertifikasi halal wajib dimiliki sebelum produk tersebut dapat dipasarkan. Hal ini menjadi langkah besar dalam upaya memastikan kehalalan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat, khususnya umat Muslim di Indonesia.
Namun, bagaimana dengan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK)? Pemerintah memberikan kelonggaran bagi UMK dengan menunda penerapan kewajiban ini hingga Oktober 2026. Penundaan ini disambut baik oleh banyak pelaku UMK, mengingat masih adanya kendala dalam proses pengurusan sertifikasi halal, seperti biaya dan prosedur yang dianggap rumit oleh sebagian pihak.
Undang-Undang No. 33/2014 secara tegas mengatur bahwa seluruh produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal jika berkaitan dengan kepentingan konsumen Muslim. LPPOM MUI dan BPJPH sebagai badan yang berwenang dalam proses sertifikasi telah memberikan berbagai panduan dan kemudahan, termasuk program sertifikasi halal gratis bagi UMK yang memenuhi syarat. Namun demikian, masih ada tantangan besar di lapangan, terutama terkait sosialisasi dan akses yang merata bagi UMK di seluruh Indonesia.
Langkah ini, meski tidak mudah, memiliki manfaat besar. Dengan adanya sertifikasi halal, konsumen Muslim akan semakin percaya dalam memilih produk yang mereka konsumsi, sementara produsen dapat memperluas pangsa pasar mereka, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga ke pasar internasional yang semakin peduli terhadap aspek halal.
Bagi perusahaan besar, tenggat waktu 17 Oktober 2024 sudah di depan mata. Hal ini mendorong mereka untuk segera menuntaskan proses sertifikasi halal sebelum batas waktu berlalu. Namun, bagi UMK, dua tahun tambahan hingga Oktober 2026 akan menjadi waktu yang berharga untuk mempersiapkan diri, sembari berharap adanya dukungan lebih lanjut dari pemerintah dalam proses sertifikasi yang lebih sederhana dan terjangkau.
Kewajiban bersertifikat halal ini menandai komitmen Indonesia dalam menciptakan industri pangan yang lebih aman dan sesuai dengan syariat Islam. Kini, pertanyaannya, apakah semua pelaku usaha siap dengan perubahan ini? Waktu yang terus berjalan menjadi saksi, apakah regulasi ini dapat berjalan mulus atau masih ada hambatan di lapangan yang perlu diselesaikan.
Bagi konsumen, tentu saja ini adalah perkembangan positif. Dengan sertifikat halal yang wajib dimiliki oleh setiap produk, mereka bisa lebih tenang dan yakin bahwa apa yang dikonsumsi sesuai dengan aturan agama.